Home / All / Pembantu Rasa Nyonya / Bab 580. Rencana
Bab 580. Rencana
Author: Astika Buana
last update2023-06-19 10:13:08

Menjaga apa yang sudah ada di tangan, itu tidak gampang.  Jauh lebih mudah saat meraihnya, padahal itu pun memerlukan upaya. Terlebih kalau itu berkaitan dengan hati.

“Ada Mas Suma? Kok berpikir sampai dahinya berkerut begitu. Pak Presiden saja sampai kalah, lo,” celetuk Maharani sambil duduk di sebelahku.

Setiba di rumah, rasa kangen dengan suasana biasanya begitu lekat. Setelah berbincang, kami pun masuk kamar masing-masing. Rima jadi ikut ke sini, dia sekarang bersama Amelia. Mereka terlihat akrab, mungkin ini menjawab kerinduan anakku dengan kakak perempuan. Pertanda baik, bukankah saudara dan ipar menjalin keakraban adalah sesuatu yang membanggakan?

Aku dan Maharani bersantai di teras privat depan kamar kami. Seperti biasa, dia datang membawa teh hangat dan camilan. Kebiasaan yang menyebabkan perutku tidak se-sexy dulu. Kalau aku protes, istri selalu melempar kesalahan kepadaku.

“Siapa suruh menghabiskan minuman dan camilan satu toples. Aku kan hanya menyediakan, tidak memaksa untuk memakannya, kan?”

Hmm … wanita memang tidak pernah di tempat salah. Selalu benar, dan aku pun menerima dengan lapang dada. Daripada esok hari tidak diberi makan. Iya, kan?

“Pulang dari liburan kok malah pusing. Mikirin apa, sih, Mas?”

Aku tersenyum, meraih cangkir yang dia sodorkan. Aroma menenangkan menguar, menyelusup di penciuman. Satu sesapan, rasa segar seakan menyebar. Aku rindu teh bikinan istriku ini. Selama di Bali, teh chamomile yang disajikan enak, tetapi tidak seenak saat di rumah seperti saat ini.

“Aku hanya memikirkan, kapan lagi kita berkumpul seperti kemarin. Bahkan mengundang semua teman dan kerabat dekat.”

“Untuk apa?” tanyanya sambil menerima cangkir dariku. Kemudian dia membukakan toples dan menyodorkannya. Tuh, kan. Dia yang menggodaku untuk tidak henti makan. Kalau aku tolak, pasti dia mencecar banyak pertanyaan. Tak apalah, camilan kue kering campuran parutan kelapa buatannya sangat enak.

“Aku ingin berbagi kebahagiaan. Seperti mengucapkan syukur atas semua anugrah yang dilimpahkan Tuhan. Bagaimana, kalau saat ulang tahun pernikahan kita?” ucapku melempar permintaan persetujuan.

Maharani ini wanita yang kurang menyukai pesta. Setiap tanggal pernikahan kami, dia hanya mau makan dinner berdua. Bahkan merayakan di rumah bersama keluarga saja, dia enggan.  

“Pesta ulang tahun pernikahan? Apa itu tidak terdengar kekanak-kanakan? ” ucapnya sambil tertawa. Dia menyesap minuman.

“Tidak lah. Banyak kok yang merayakan. Pesta pun juga sering aku dengar.”

Dia tersenyum sambil meletakkan cangkir, sambil beringsut ke arahku. “Yang sering aku dengar melakukan pesta meriah itu, pesta pernikahan emas. Setelah usia pernikahan lima puluh tahun, Mas.”

Sekarang gantian aku yang tertawa. “Kenapa untuk bersyukur saja menunggu sampai lima puluh tahun, Ran. Itu lama banget.”

“Ya daripada kita baru tujuh tahun sudah ingin pesta-pestaan. Apa tidak membuang-buang uang saja? Lebih baik uangnya__”

“Ditabung? Digunakan untuk beramal?” sahutku cepat. Aku sudah hapal dengan apa yang akan dilontarkan.

Dia mengangguk. “Nah itu sudah mengerti,” serunya sambil tertawa.

“Ran. Untuk ditabung, aku sudah ada dana sendiri. Untuk beramalpun sudah dialokasikan setiap bulan, bahkan kamu tahu kita mempunyai yayasan untuk mengolah dana itu. Bukti syukur dengan mengumpulkan orang, bukan hal membuang uang yang kalau ada dana untuk itu. Justru kita menularkan kebahagiaan kepada orang lain,” ucapku bersikukuh.

“Tapi itu juga memantik orang lain mencibir, Mas. Baru tujuh  tahun sudah lebay.”

“Itu untuk orang yang pikirannya picik dan dipenuhi pikiran negatif. Kita harus abaikan itu. Kalau bisa, jangan diundang. Lebih baik kita berkumpul dengan orang-orang yang berpikir positif. Yang berpikir kalau diusia tujuh tahun sudah berhasil melewati segala ujian. Banyak lo, pernikahan yang tumbah di usia itu. Anaknya masih kecil-kecil, suaminya selingkuh dengan rekan kerja. Sekertaris lah, asisten lah. Bahkan Client. Terus, apa salahnya kita bersyukur, siapa tahu juga mengingatkan pasangan yang lain. Iya, kan?”

“Iya, iya. Sebentar. Kalau begitu, namanya apa, ya?” ucap Maharani sambil mengambil ponsel.

Dia membuka artikel urutan istilah usia pernikahan. Dari yang dia lakukan, pertanda istriku ini menyetujui rencanaku. Aku akan siarkan ke dunia kalau pernikahanku sangan membahagiaan.

Siapa bilang tujuh tahun itu waktu yang sebentar? Bertahan dengan orang yang sama dengan segala keunikan, itu sudah prestasi yang besar. Kadang sesuatu yang tidak masuk nalar.  Coba kita bersama dengan orang yang sama, satu minggu saja. Pasti bosan. Namun, di pernikahan ini justru mencandui. Sudah menjadi kebiasaan seperti bernapas. Kalau dilalui terasa biasa, tetapi kalau dilupakan akan menyebabkan kita mati.

Itu yang aku rasakan bersama Maharani.

“Ternyata semua ada istilahnya, Mas,” ucapnya dengan mata tanpa teralih dari layar ponsel. Matanya berbinar.

“Paper, cotton, leather, fruit and flower, wood, sugar, dan kalau tujuh itu wool,” ucapnya kemudian menatapku dengan dahi berkerut. “Pernikahan Wool. Kok aku tidak pernah dengar, ya? Bagusan pernikahan sugar, terkesan manis. Tapi itu kan sudah lewat.”

“Sugar itu untuk enam tahun?”

“Iya.”

“Kalau begitu sekarang saja kita rayakan,” sahutku sambil melebarkan mata. Ide bagus kalau pesta itu disegerakan.

Perayaan ini bagiku tidak sekadar makan-makan. Lebih dari itu. Aku ingin mengukuhkan ke dunia, siapa saja yang menjadi keluargaku. Maharani, Wisnu, Amelia, Denish, dan Anind, adalah keluarga Kusuma Adijaya.

Titik.

Selain itu hanya nama-nama masa lalu yang tidak boleh mengusik kebahagiaan. Termasuk nama Bramantya dan Dewi.

“Bagaimana, Ran? Setuju, kan? Kita tinggal hubungi Event Organizer dan terima beres. Wisnu suruh terbang saja sebentar.”

Dia malah tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Mas Suma ini, lo. Kumat. Kalau ada maunya ingin sekarang-sekarang juga. Tidak, ah! Aku tidak ingin melakukan sesuatu secara tergesa. Aku ingin mendesign syukuran ini dari sini,” ucapnya sambil menunjuk hati.

“Tapi, Ran,” ucapku dengan memasang wajah merengut. Walaupun dalam hati aku bersorak, dia menyetujui rencanaku untuk tujuh tahun kami.

“Pokoknya wool saja. Wool itu menghangatkan dan melindungi. Jadi pernikahan kita di saat wool tidak sekadar manis-manisnya, saja!” serunya menjelaskan arti yang dia baca dari ponsel. Dia menyerahkan ponsel.

“Ya sudah kalau begitu,” ucapku pura-pura mengalah sambil menerima ponsel yang masih menunjukkan arti simbol pernikahan. Padahal aku merayakan kemenangan.

Ulang tahun pernikahan tujuh tahun yang dilambangkan wool memberi makna kehangatan. Bahkan yang membuatku mengernyit, di dunia Barat justru menyebut pernikahan ke tujuh tahun itu, 7-Year Itch. Itch yang artinya gatal, yang dimaksud permasalahan yang bertubi-tubi.  Ternyata dari artikel ini menunjukkan banyak yang tumbang di usia pernikahan ini.

Mereka beranggapan, setelah usia ini akan ada perubahan pandangan dan tujuan. Memang benar, sih. Menurutku, kami mulai masuk hubungan dewasa. Kebersamaan sudah menjadi kebiasaan yang harus.

“Ran .…”

“Apa?”

Aku meletakkan ponsel di meja di sebelah toples camilan. Kemudian beranjak berdiri sambil menarik tangannya.

“Mau apa, Mas?”

Aku tersenyum sambil menaik-naikkan alis mata.

“Tahun ini kita kan posisi tahun sugar. Saat manis-manisnya, kan?”

 Dia tersenyum, tangan satunya mengusap lenganku. Mendekatkan diri sambil berbisik. “Penasaran, manisnya seberapa, sih?”

‘Hmm … dia membangkitkan macan tidur. Rasakan ini. Temannya macan sudah menggeliat,’ bisik hatiku sambil mendorongnya masuk dan menutup pintu.

*****

Continue to read this book for free
Scan the code to download the app

Latest Chapter

  • Extra Part

    POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan

  • Bab 616. Ending

    Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku

  • Bab 615. Anak-Anak

    Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu

  • Bab 614. Pesan Menyebalkan

    Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan

  • Bab 613. Persiapan

    “Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini

  • Bab 612. Desi Pegawai Teladan

    Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”

  • Bab 611. Izin Kita

    Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m

  • Bab 610. Pendengar

    Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan

  • Bab 609. Mengagetkan

    Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on MegaNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
Scan code to read on App