Extra Part
Author: Astika Buana
last update2023-07-01 10:23:19

POV Nyonya Besar 

"Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus."

Huft!

Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik.  Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana.

Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang.

Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. 

"Sudah cetar?" tanyaku memastikan yang aku lihat bayangan di cermin itu sip.

Anita tersenyum sambil mengangguk. "Sudah, Nyonya Besar."

"Makasih, ya. Sudah di sini saja. Jangan jauh-jauh."

Nah, sekarang aku sudah siap memberi kejutan kepada menantuku Maharani. Dari dulu aku sering memberi kejutan deg-degkan pada menantuku itu. Inah yang sering cerita. Katanya kalau aku datang ke sana, wes semua kalang kabut. Kelihatan sekali Maharani tidak mau mendapat celaan dariku. Padahal aku itu lo orangnya santai.  Cuma, mulut ini sering nerocos sendiri kalau ada yang miring-miring. Beneran tidak ada niat untuk sidak atau membuat deg-degkan menantuku itu.

Aku lo sayang.

Loh, kok ada acara sambutan? Aku melihat Kusuma di depan memegang pengeras suara. Tidak ada acara ini di daftar. 

"Sst! Amelia. Papimu kok maju?" tanyaku dengan berbisik.

Cucuku itu menoleh sambil menjawab. "Kejutan untuk Mama."

"O gitu."

Semua mata tertuju kepada anakku. Dia memang memesona seperti ibunya. Ganteng, berkarisma, dan kalau bicara memaksa orang tidak berpaling darinya. 

Ucapan terima kasih kasih dan rasa syukur kepada Tuhan. Aku mendengarkan pidato Kusuma dengan rasa terharu, mengingat perjalanan cinta mereka, 

".... Maharani, istri saya tercinta,” ucap Kusuma sambil menunjuk ke arah istrinya. Amelia mendekat ke Mamanya. Sepertinya dia menyuruh Maharani untuk berdiri. Semua undangan tepuk tangan.  

'.... Wisnu anak lelaki tertua kami." Sekarang Wisnu yang berdiri. Kok ada acara begini, ya?

“Amelia, putri kami dan yang dua imut, Denish dan Anind.” Kusuma menyebut anak-anaknya lagi. Semua yang ada di meja ini berdiri.  Semua bertepuk tangan melihat keluarga lengkap anakku.

Aku mengernyitkan dahi saat tangan Kusuma mengarah ke meja kami lagi. “Juga ada dua calon anggota keluarga kami, Kevin dan Rima.” Sekali lagi tepuk tangan dengan riuh.

Lah, kok tinggal aku dan Jeng Sastro yang duduk manis. Apa kami terlupakan karena sudah tua? Tidak terlihat indah saat di kamera karena sudah keriput? Awas yo Kusuma.  Mata ini menatap lekat ke depan, sambil berdoa, supaya namaku dipanggil.  

“Semua ini tidak lepas dari doa orang tua kami. Mama Rianti Adijaya, dan Ibu Sastro.”

DEG!

Seketika senyum ini mengembang sempurna. Ingin rasanya mewek, tapi nanti saja setelah acara foto. 

"Jeng Sastro ayo berdiri. Jangan nangis," bisikku sambil mengulurkan tangan. Besan sekaligus sahabatku ini malah mengambil tisu. Memang dia berdiri, tapi malah sibuk mengusap air mata. La hasil fotonya gimana. Wajahnya ganti tisu, dong.

'Memang kalau sudah usia lanjut itu susah,' bisik hatiku sambil tetap menampilkan senyuman. Semua mata tertuju ke arah kami, terpaksa tanganku aku lambaikan. Mereka kan penggemarku.

Sekarang aku bersiap memberi kado terindah untuk menantuku. Piano putih sudah bertengger cantik di sana.

***** 

Catatan

Nyonya Besar ingin tampil menyapa penggemar, makanya diluncurkan extra part ini. 

Terima kasih pembaca kesayangan yang sudah mengikuti cerita sederhana ini. Saya juga mengucapkan kalau ada yang kurang berkenan. Untuk kisah Maharani dan Tuan Kusuma sudah tamat. Kalau masih ada kesempatan, akan diteruskan lagi dengan fokus pada kehidupan Amelia dan Wisnu. Penasaran kan bagaimana kalau Maharani dan Tuan Kusuma jadi mertua?

Selagi menunggu kesempatan itu, pembaca bisa menikmati cerita karya saya yang lain. Tinggal ketik Astika Buana, dan pilih cerita mana yang akan dibaca. 

Terima kasih sudah kebersamaan kita selama ini.

Cintai diri kalian dengan bahagia selalu apapun keadaannya.

LOVE-ASTIKA BUANA 

Continue to read this book for free
Scan the code to download the app
Previous Chapter

Latest Chapter

  • Extra Part

    POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan

  • Bab 616. Ending

    Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku

  • Bab 615. Anak-Anak

    Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu

  • Bab 614. Pesan Menyebalkan

    Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan

  • Bab 613. Persiapan

    “Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini

  • Bab 612. Desi Pegawai Teladan

    Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”

More Chapter
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on MegaNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
Scan code to read on App