"Papi, aku suka yang ini," kata Amelia putriku. Dia menyodorkan berkas kerja ke tanganku.
Sudah berbulan-bulan kami mencari pekerja yang mengurus keperluan rumah. Ratusan lamaran yang masuk secara online, banyak yang berminat karena gaji yang ditawarkan besar. Anita karyawan Mami, yang menyortirnya dan tersisa lima belas kandidat. Tumpukan berkas itu sudah satu minggu di meja kerjaku tanpa sempat aku sentuh. Aku tidak ada waktu.
Sebenarnya, yang aku cari tidak hanya sekedar pengurus rumah. Namun, teman untuk anakku, Amelia. Diumurnya yang masih labil, dia membutuhkan sosok yang bisa mendampinginya. Aku sebagai papinya tidak sempat dan tidak mengerti kebutuhan anak perempuan seusia dia. Sering kali dia membuatku stres tanpa aku tahu harus bagaimana. Mamiku yang akhirnya turun tangan.
"Papi! Dilihat dong, Pi. Aku pingin cepet punya temen," rengeknya dengan manja. Kebiasaan kalau ada yang diinginkan dia akan menggelendot di lenganku. Dan tidak akan dilepas sebelum keinginannya terkabul. Namun, kalau tidak ada maunya, dia akan di kamar terus. Bahkan seharian.
"Manja sekali anak Papi. Temenmu kan Papi. Sudah bosan, ya?" Kucubit pipinya gemas.
"Papi sukak tidak nyambung. Aku kan mau yang cewek, Pi. Banyak urusan khusus cewek. Papi tidak bakalan ngerti," bisik Amelia tersenyum geli.
Anakku sekarang sudah besar, kebutuhannya sudah berbeda. Bagaimana bisa dia curhat atau ngobrol denganku, ketemu saja jarang. Walaupun kami tinggal berdua, kami jarang bertemu. Pagi-pagi dia sudah ke sekolah, aku masih istirahat di kamar. Malam aku pulang dari kantor, dia sudah tidur.
Aku membaca berkas yang disodorkannya. Nama Maharani, umur 39 tahun. Dari fotonya kelihatan orangnya bersih dan pintar.
"Ok! Langsung saja hubungi Anita untuk panggil. Semoga kamu suka, ya." Aku usap dan cium pucuk kepala.
"Asyik! Terima kasih, Pi! Love you." Dia memcium pipiku dan melesat lari kegirangan.
Aku tersenyum geli melihat tingkah anak tunggalku ini.
***
"Selamat malam Tuan Kusuma, perkenalkan saya Maharani karyawan baru."
Seorang perempuan menyambutku dengan sopan. Ternyata ini pegawai baru itu. Perawakannya tinggi dan besar, tapi tidak gendut. Tidak terlalu cantik tetapi menarik dan bersih. Gestur tubuhnya menandakan dia wanita yang kuat dan percaya diri.
Maharani.
Namanya bagus.*
Makan malamku enak sekali. Dia pintar memasak. Menunya umum, tetapi ada tambahan rasa yang membuat lebih enak. Tumben sekali aku sampai menghabiskan dua piring. Rasa masakan yang segar menggugah seleraku.Biasanya kami dikirim makanan dari rumah mami atau beli di luar. Namun, lama-lama bosan. Seenak apapun makanan diluar, lebih enak makanan rumah.
Rani.
Itu panggilanku buat dia.Aku tes dia.
Aku coba menawarkan dia untuk memanggilku mas atau pak. Dan, dia memilih memanggilku, pak. Pilihannya menandakan dia ingin bersikap profesional. Dia berusaha menjaga jarak denganku. Dia membuatku semakin penasaran, siapa dia sebenarnya.Ponselku nyala.[Kus, sudah di rumah?]
Ternyata Mami yang kirim pesan. Kasihan, diusianya sekarang masih mengurus keperluan rumahku. Terutama, keperluan Amelia cucunya. Dia mengirim Anita-pegawainya untuk mengawasi keperluan di sini. Seringkali aku ditekan untuk menikah lagi, supaya ada yang mengurus katanya. Namun, zaman sekarang susah mencari yang benar-benar tulus dan cocok untukku. Apalagi ada Amelia yang sudah ABG. Aku lebih nyaman seperti ini, tidak repot mengurusi perempuan yang complicated.
[Kus, apa sudah ketemu pegawai baru?]
Pesan masuk lagi ke ponselku.[Sudah, Mi]
[Cicipin masakannya. Enak atau tidak. Mami belum sempat tes dia]
[Sudah, Mi. Enak]
[Bagaimana menurutmu penampilannya]
[Biasa saja] Balasku singkat.
Drrrt ... drrrt ... drrrt ....
Wah, Mami langsung telpon. Apa salahku, ya? Biasanya, kalau ada yang penting baru dia menelpon."Kusuma, anak mami. Bukan itu maksudnya. Coba liat penampilannya. Ngglubut gitu. Mana bisa kalau diajak pergi sama Amelia. Bikin malu aja! Kamu ngerti enggak, sih. Uwong kok ora mudengan!"
Mami ngomel tentang Rani. Dia menyebutku orang yang tidak cepat mengerti. Maksudnya apa?
"Terus saya harus bagaimana, Mi?"
"Ya sana, kasih tahu Claudia. Itu kan kerjaan dia. Wes, urus semuanya ya. Jangan bikin malu!" teriak Mami kesal. Dia langsung tutup ponselnya.
Gara-gara perempuan itu aku kena marah! Urusan penampilan, masak aku juga yang mengurus! Membuatku kesal, saja!
Kebetulan dia mengantar minuman ke sini. Aku tawarin dia untuk membeli baju, dia malah menolak.
"Tidak perlu bagaimana?! Saya tidak mau anak saya malu karena penampilanmu! Nanti dia diejek sama teman-temannya. Kamu ngerti enggak sih. Jangan samakan dengan di kampung! Sudah, sana-sana!" teriakku kesal.
Perempuan macam apa, sih dia.
Dimana-mana perempuan kalau dibelanjakan akan hijau matanya. Bahkan akan loncat kegirangan. Ini malah menolak.Perempuan aneh!
[Claudia. Tolong make over karyawanku. Namanya Rani. Besuk dia ke butik diantar Amelia. Kasih dia penampilan yang terbaik. Dia yang akan dampingi Amelia. Buat supaya tidak memalukan]
Aku langsung kirim pesan ke Claudia, dia pemilik butik ternama langganan keluarga kami.
Semakin aku ingin tahu, perempuan aneh ini.
***
Kaget sekali aku melihat kamar Amelia kosong. Kemana anak ini, apa dia keluar tanpa pamit? Baru saja aku tinggal ke rumah Mami, sudah hilang!Oya, Rani.
Ini tanggung jawab dia. Anak hilang, dia malah tidur."Rani ...!"
Setelah beberapa ketukan, baru pintu kamarnya terbuka. Ternyata, Amelia tidur bersamanya. Lega hati ini. Aku sangat takut terjadi apa-apa dengan anakku ini.Tersadar aku, ternyata penampilannya sedikit berubah. Wajahnya terlihat cerah, hasil pekerjaan bagus dari Claudia. Rani dengan daster lebarnya dan rambut terurai panjang, kelihatan cantik.
"Rani, tolong buatkan jahe hangat!" teriakku.
Tidak ada jawaban, yang datang malah Bik Inah.
"Ada apa, Tuan? Bu Rani pergi mengantar Non Amelia ke sekolah. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bik Inah tergopoh-gopoh.
Oya, aku lupa. Memang hari ini, dia mulai mengantar Amelia ke sekolah.
Beberapa saat kemudian, terdengar mobil datang. Dia sudah pulang. Aku ingin melihat bagaimana penampilannya. Apakah ada perubahan?
Benar!
Dia kelihatan berkelas.Tidak lusuh seperti kemarin."Ternyata, kamu cantik!"
***

Latest Chapter
Extra Part
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Bab 616. Ending
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Bab 615. Anak-Anak
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 614. Pesan Menyebalkan
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
Bab 613. Persiapan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Bab 612. Desi Pegawai Teladan
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
